Inilah Berkah Ramadhan

 berdoa dululah sebelum dibedel

Ramadhanku sekali itu, 2009, sungguh luar biasa!
Bayangkan saja, sejak sebulan sebelum Ramadhan, dokter memvonisku untuk operasi limpa sekaligus kandung empedu. Jika tidak, sebagaimana selama itu aku bertahan menolaknya, maka rasa sakit menghebat yang sering menyerang tiba-tiba itu akan menggerogoti tubuhku, merusak hari-hari dan rutinitasku sebagai seorang perempuan yang tinggi sekali mobilitasnya.

Ternyata untuk bisa mendapatkan tempat rawat inap di RSCM itu sungguh luar biasa pula sulitnya. Selama dua pekan aku dan putriku, Butet, menunggu dengan sabar, dan harus bolak-balik untuk mengecek: “Sudah adakah tempat untuk saya, Pak, Bu?”

Jawabannya selalu sama bahkan tak pasti: “Nanti kalau sudah ada akan kami kabari,” demikian suara petugas terdengar melalui telepon. Kenyataannya tak pernah ada yang menghubungi urusan rawat inap ini, kalau kami yang telepon tak pernah pula bisa tersambung. Aneh bin ajaib memang, entah apa fungsi CS-nya itu. Jika disambangi kami harus antri, sekadar menanyakan informasi sekalipun, bisa satu jam menanti.

Sementara perjalanan Depok-RCSM dengan apapun tetaplah menyengsarakan. Dengan kendaraan umum, bis atau angkot bisa tiga jam terjebak macet. Kereta memang lebih cepat dan ringkas, tetapi, kami harus berjubelan, sekalipun subuh telah berangkat dari rumah.

Dengan kondisi yang semakin hari semakin parah, kesakitan, lemah dan tak berdaya, acapkali aku hanya bisa menyandarkan sepenuhnya kepada putriku. Tak jarang Butet harus memegangi tubuhku kuat-kuat agar tidak ambruk di pinggir jalan, atau di gerbong sesak, dengan penumpang beragam yang kebanyakan bersikap cuek-bebek alias apriori.

Akhirnya, pada 29 Agustus 2009, kami berhasil memaksa dokter bedah agar memberi pengantar yang menyatakan; bahwa aku pasien kelaianan darah bawaan yang akan dioperasi limpa dan kandung empedu, harus secepatnya dirawat. Dijadwalkan pada 5 September 2009. Sebelumnya aku telah melakukan vaksinasi meningitis, flu dan entah apalagi, pokoknya tidak bisa dengan Askes, harus bayar tunai!

“Yaaaah si Ibu ini gimana sih? Kenapa gak dari kemarin-kemarin bawa pengantar dokternya, Bu? Kok bisa-bisanya harus mendadak begini?” omelan seorang petugas serasa menyayat dan menambah rasa sakit di bagian perutku.

Kugelengkan kepala ke arah putriku yang tampak sudah bersiap ingin membantah, geregetandotcom begitu. Saat-saat sangat membutuhkan penanganan medis begini, biarlah kita mengalah, tak perlu dihiraukan omelan bahkan sikap melecehkan para petugas, ya, biarkan sajalah. Kesabaran harus super tinggi!

Setelah mendapat tempat di lantai 8, karena lantai 4 bagian bedah penuh, maka perjuangan pun ternyata baru dimulai. Sehari-dua hari, aku tak berhasil meyakinkan dokter hematologi agar segera memberi transfusi darah karena HB-ku hanya 8,4 sedangkan normalnya 12.

“Nanti saja dokter bedahnya yang memberi instruksi, ya Bu,” kilah dokter perempuan, masih muda, kemudian menjanjikan koordinasi dengan bagian bedah.

Tiga hari tiga malam dirawat dan tak ada seorang pun dokter bedah yang muncul, aku mulai gelisah dan bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana mau dioperasi jika dokter bedahnya pun tidak memeriksaku? Jika operasi jadi dilaksanakan ini berarti tinggal 2 (dua) hari lagi.

Setelah Butet protes keras dan menemui dokter senior, spesialis penyakit dalam, barulah siang itu muncul dua orang dokter muda dari bagian bedah. Ternyata mereka tidak ada konfirmasi bahwa aku akan dioperasi pada 5 September, intinya namaku belum masuk list rencana operasi besar di ruang OK. Alamak!

Aku hanya geleng-geleng kepala, menghela napas dalam dan bergumam;”Beginilah kalau orang miskin sakit, segalanya dipersulit.”

“Jadi, bagaimana ini, dokter? Bisa dijadwalkan sekarang apa tidak?” desakku, kemudian lebih banyak sendirian menghadapi tim medis, karena putriku sedang ujian tengah semester. Abangnya sibuk bekerja dan kepala keluarga, hatta, mau berdoa sajalah di rumah. Masih untunglah kami sekeluarga memakai fasilitas telkomsel, jadi komunikasi lebih murah dan cepat.

“Kita jadwalkanlah, kalau beruntung bisa secepatnya, tapi gak janji bisa loh. Ini kan bulan puasa. Banyak dokter sedang cuti,” jelasnya sambil berlalu. Namun, tiba-tiba pada 7 September, rombongan dari bagian bedah datang memeriksaku. Dokter seniornya, seorang beretnis Batak, mengomel-omel kepada dokter muda yang selama itu menanganiku.

“Ini pasien sudah lama diopname di ruang ini, kalian ke mana saja? Kalian ini dokter bukan monyet-monyet, bla, bla, bla!” Banyak istilah khas orang seberang disemburkan tanpa tedeng aling-aling bikin kuping merah dan panas. “Langsung dijadwalkan saja, 10 Septermber, ya Bu,” ujarnya pula memutuskan. Aku mengiyakannya saja dan merasa memang telah siap.

Sejak saat itu dokter muda dari bagian bedah secara bergantian berdatangan memeriksaku. Ada yang mengaku dokter anastesi, dokter kardiologi, bahkan psikiatri. Aku meladeni mereka, menjelaskan sedapat mungkin sejarah medis, penyakit seumur hidupku, harus ditransfusi secara berkala tiap dua bulan sekali. Kuingatkan pula kepada dokter bedah bahwa HB-ku di bawah standar. Dia malah bilang:”Urusan darah itu bagian hemato, ya Bu!”

Dalam situasi heboh begini, karena belum juga dikabulkan permintaan transfusi, tiba-tiba pula dokter senior yang akan membedahku datang dan bilang:”Ibu bisa dipercepat ya operasinya, ada pasien yang lewat, jadinya 9 September. Siap, ya Bu?” Hadeuh!

Persiapan operasi splenektomi sekaligus kandung empedu, lebih diintensifkan, tetapi bahkan sampai detik terakhir sekalipun, transfusi itu tak pernah diberikan. Jadilah aku diangkut ke ruang operasi pusat dalam kondisi HB 8,4!

Tepat ketika SBY ultah di istananya, 9 September 2009, perutku dibedah, diuyek-uyek sejak pukul 09.00 hingga 9 jam kemudian. Sejak detik itu sampai lima hari kemudian, aku merasa antara sadar dan tidak, serasa tinggal selangkah lagi berjabat tangan dengan Malaikat Kematian.

Belakangan Butet cerita bahwa aku sempat dinyatakan in-coma, diminta berdoa, menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta, karena tim medis telah berusaha semaksimal mungkin.

13133905781797952389
 sedang incoma


Jika kurenungkan kembali peristiwa itu, aku menemukan satu kesimpulan; jika bukan karena sayang-Nya Sang Pencipta kepadaku, jika bukan bulan Ramadhan ketika melakoninya, kemungkinan rahmat itu, barokah itu tidak kuperoleh. Ya, berkat bulan suci Ramadhan yang penuh keberkahan inilah, diriku akhirnya berhasil keluar dari lubang maut. Dan kembali mampu beraktivitas seperti sediakala.

Sungguh, sujud syukurku kepada-Mu, ya Robb, atas nikmat-Mu yang tak pernah henti mengucur ini.
[Telkomsel Ramadhanku]

3 Komentar

  1. alhamdulillah ya mbak.. Allah Maha mendengar setiap doa dan juga Maha penolong . aku terharu bacanya :')

    BalasHapus
  2. all praise to Alloh.......t_t

    BalasHapus
  3. Miris sekali ketika kembali membaca pengelaman tentang kinerja dokter-dokter dan sistem di rumah sakit itu. Semoga selalu sehat ya, Bu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama